Selasa, 08 Maret 2011

Sejarah musik dangdut

Tak ada pemusik dangdut yang berhak menyebut bahwa dialah yang telah menaikkan kelas dangdut. Sejak awal, jika dangdut ditarik ke awal kemunculannya, musik ini sudah diperuntukkan bagi semua kelas.

Akar dari dangdut adalah musik Melayu. Dan orang pertama yang menggunakan istilah "Melayu" dalam musik adalah dr. A.K. Gani, tokoh Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), pada 1938. Di mata Gani, musik Melayu adalah musik rakyat dan, katanya, "Bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan nasionalisme."

A.K. Gani memasukkan keroncong, orkes harmonium, dan irama Malaya ke dalam rumpun orkes Melayu. Sejak itulah, pada masa awal kemerdekaan, musik ini mendapat prioritas. Radio Republik Indonesia adalah media pertama yang meluaskan orkes Melayu ini hingga naik pamor dan menjadi musik yang merakyat.

Sepuluh tahun sejak "gerakan bersama" itu muncul berbagai corak Melayu dan yang paling menonjol adalah Melayu Deli. Instrumen yang dipakai dalam Melayu Deli ini antara lain akordeon, suling, bas, kadang-kadang gambus dan rebana (pengaruh musik Arab), juga gendang yang menghentak. Gendang ini dipakai untuk mengiringi tarian yang mengutamakan gerak kaki.

Begitu dominannya pengaruh Melayu Deli, jika orang menyebut "melayu" maka yang hidup di kepala masyarakat adalah Melayu Deli. Pada sekitar 1955, Orkes Melayu Chandralela pimpinan Mashabi dengan penyanyi-penyanyi Said Effendi, Ellya Agus (Ellya Khadam), Juhana Satar, dan Elvy Sukaesih sangat populer. Menyusul kemudian Orkes Melayu Bukit Siguntang pimpinan Abdul Chalik dengan penyanyi Hasnah Thahar dan Husaimi. Ada juga A. Haris yang mencipta lagu yang sangat terkenal, Kudaku Lari.

Bersamaan dengan populernya musik melayu, pada awal 1960-an, pemerintahan Demokrasi Terpimpin membuka keran lebih lebar bagi film India, sementara film Barat ditutup. Raj Kapoor pun menjadi bintang yang paling dipuja. Sementara para pemusik melayu yang dinamis dan berirama mulai melirik ilustrasi musik India di film-film India. Mereka memasukkan sisi sentimental yang meratap seperti dalam film India ke dalam musik Melayu.

Husein Bawafie kemudian menciptakan lagu Boneka dari India buat Ellya Khadam. Ada pula Said Effendi yang menyodorkan lagu-lagu yang sentimental. Namun, Ellyalah yang kemudian dianggap memproklamasikan sifat India Melayu itu. Ellya tak banyak melakukan goyang tubuh, hanya sebatas pada menggoyangkan pundak dan kepala.

Instrumen orkes Melayu pun mulai berubah. Peran gendang mulai digantikan tabla yang populer di India. Munif Bahaswan, penyanyi dan penulis lagu dangdut, seperti dikutip Tempo (30 Juni 1984), menyebut Kudaku Lari (1953) sebagai lagu pertama yang memberanikan diri memasukkan suara gendang ala India pada orkes yang semula hanya memakai gitar, harmonium, bas, dan mandolin. Irama yang sama juga ada pada lagu India asli Awarabum.

Irama tabla itu tak cuma merangsang gerak kaki, tapi juga liukan tari India dan gerak doger atau jaipong. Inilah awal mula goyang menjadi pelengkap tak terelakkan dari orkes Melayu. Said Effendi menyebut masuknya tabla itu dengan istilah "irama tabla".

Lalu, dari mana istilah "dangdut" itu berasal? Said Effendi yang tak senang dengan istilah "dangdut", dalam Tempo (5 Mei 1979) mengatakan, "Istilah itu muncul karena perasaan sinis dari mereka yang anti musik Melayu."

Rhoma Irama (dulu Oma Irama) pada awal-awal pemunculannya itu pun menolak istilah yang saat itu mulai banyak digunakan. Rhoma berkeras menyebut orkesnya "Melayu". Ia menyebutkan istilah dangdut itu diberikan oleh mereka yang tak suka irama Melayu.

Tim Peneliti Lagu-lagu Melayu Radio Republik Indonesia pada awal 1980-an juga menolak dangdut masuk ke lingkungan irama Melayu. Mereka menyebut jenis itu sebagai "orkes tabla". Penolakan itu terbit dari semangat menjaga "keaslian Melayu", yakni musik Melayu Deli.

Said Effendi menunjuk Amengku, penyiar dari Radio Agustina yang pertama menyebut istilah "dangdut" pada 1977. Tapi istilah itu sudah muncul dalam laporan utama Tempo 22 Maret 1975.

William H. Frederick, orang Amerika yang membuat riset tentang dangdut, menyebut dangdut sebagai gejala onomatopoeia atau pembentukan kata berdasarkan bunyi. Jadi, bunyi "dang" dan "dut" pada tabla itulah yang kemudian populer dan menggeser Melayu Deli atau Orkes Tabla.

Pemusik Tonny Koeswoyo (Koes Plus)-lah yang justru kemudian lebih berani menempatkan nama "dangdut" sebagai induk dari tiga jenis musik yang berkembang luas di masyarakat: Melayu Deli, dangdut yang dipengaruhi Arab dan India, serta dangdut pribumi. "Dangdut pribumi, kalau didengarkan, talu gendang dan sulingnya tidak meliuk-liuk seperti India, namun tidak pula monoton seperti Melayu Deli," ujarnya.

Koes Plus kemudian ikut membuat album Melayu. Begitu juga Bimbo. Turunnya dua kelompok musik pop itu menambah keyakinan bahwa dangdut tak cuma bisa mencorongkan sang pelantunnya, tapi juga grup.

Yang kemudian begitu menyedot perhatian masyarakat Indonesia adalah munculnya Rhoma Irama dengan Orkes Soneta yang didirikan pada 1971. Frederick menghitung, pada 1980-an penggemar Rhoma Irama mencapai hingga 10 persen penduduk Indonesia.

Rhoma, dengan latar belakang seorang pemain band yang senang Beatles dan penggemar gitaris Ritchie Blackmore dari kelompok rock Deep Purple, mendekatkan dangdut pada alat-alat listrik. Ia juga mencoba memasukkan musik hard rock ke dalam komposisi dangdut. Dalam break lagu ia memasukkan irama tabla. Aksi panggungnya juga memasukkan asap sebagaimana pertunjukan God Bless.

Aksi dan lagu-lagu Rhoma yang kian digemari itu menjawab tudingan "musik kampungan" dari sejumlah pengamat musik. "Kebangkitan Soneta karena banyak cemoohan yang waktu itu muncul dari kalangan rock."

Pada 1975 itu musik Indonesia mencatat "wabah dangdut". Hampir semua pemusik Indonesia, "dari pop sampai klasik", meminjam ungkapan salah satu lagu Rhoma, mencoba memasukkan unsur dangdut ke dalam musik mereka.

Kini, dangdut bukan cuma telah mewabah, tapi sudah menjadi menu harian bagi masyarakat. Penyanyi dan grup dangdut pun silih berganti datang membawa "wabah"-nya masing-masing. Varian musik dangdut pun sudah kian berkembang. Boleh jadi, pada suatu saat dangdut pun bermetamorfosis menjadi musik lain, dengan nama yang lain. Kalau sudah jauh berkembang, siapa yang berani mengklaim bahwa dialah yang menjadi "pendekar" dan berhak mewarisi musik rakyat itu? yot/narila mutia

Koran Tempo
4 Mei 2003

http://www.korantempo.com/news/2003/5/4/Nasional/33.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar